CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik)


Distribusi Obat Narkotika

            Cara distribusi obat yang baik adalah cara distribusi atau penyaluran obat dan atau bahan obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi atau penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya.

Secara umum distribusi obat dapat diartikan sebagai proses pemindahan barang dari suatu tempat ke tempat lain seperti: 

  • Pemindahan dari supplier ke gudang pabrik (GP)
  • Pemindahan dari GP ke unit produksi atau pemakai
  • Pemindahan produk dari unit produksi ke GP
  • Pemindahan dari GP ke gudang cabang pabrik( GCP)
  • Pemindahan GP/GCP ke gudang distributor (GD)
  • Pemindahan GD ke gudang cabang distributor (GCD)
  • Pemindahan GD/GCD ke pengencer 
  • Pemindahan dari pengencer ke konsumen

Proses pemindahan tersebut dapat berlangsung cepat atau lama bahkan dapat membutuhkan waktu beberapa hari tergantung jarak,kualitas transportasi seperti jalan dan alat angkut, Selama proses pemindahan mutu dan jumlah barang harus tetap dapat dipertahankan, karena itu alat angkut harus memiliki fasilitas untuk menjaga mutu dan keamanan barang,  Proses komunikasi dan administrasi juga merupakan faktor penting dalam proses distribusi.

            Ruang lingkup distribusi perbekalan farmasi, mencakup organisasi, personalia, bangunan dan fasilitas, penanganan produk dan kontrol produk, pemusnahan produk, dokumentasi, keluhan produk, penarikan kembali produk, penerimaan produk kembalian, produk palsu, inspeksi diri serta kegiatan kontrak.

Distribusi dapat dilakukan dengan 2 cara:

  1. Sentralisasi : seluruh kebutuhan user disuplai dari gudang pusat
  2. Desentralisasi : seluruh kebutuhan user disuplai dari depo (satelit) yang berada didekat atau disekitar user. Persediaan Depo display Gudang pusat

Sekarang tantangan berat yang dialami industri pada saat yang bersamaan juga mengimbas ke perusahaan-perusahaan distributor farmasi atau distributor obat, terutama dihadapi oleh kalangan distributor lokal yang memiliki daya saing rendah. Pasalnya, ketimpangan yang tajam antara jumlah perusahaan farmasi dengan jumlah distributor obat, apotek dan toko obat, semakin kurang kondusif bagi perkembangan usaha jika dilihat dari sisi skala ekonominya.

Kondisi industri farmasi nasional sekarang ini terasa sangat timpang. Betapa tidak, dengan hanya 196 pabrik obat, jumlah distributornya (PBF-Pedagang Besar Farmasi) ada sebanyak 2.250, yang berarti 1 pabrik obat rata-rata berhadapan dengan 11 distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF) berhadapan dengan 2,3 apotek. Ketimpangan tersebut bagaikan sebuah piramid terbalik, dimana untuk mencapai skala ekonomi atau efisiensi, seharusnya jumlah distributor nasional jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pabriknya. Dengan begitu, akan diperoleh rasio dimana 1 distributor obat dapat melayani puluhan pabrik, tidak seperti sekarang ini dimana 1 pabrik obat dilayani oleh beberapa puluh distributor. Kondisi ini pula yang justru menjadikan PBF lokal, terutama yang tidak memiliki bentuk kerjasama, misalnya sebagai ‘distributor tunggal’ atau ‘sub distributor’, tidak lagi mampu bersaing.

            Ketidakseimbangan ini semakin mendorong tidak efisiennya biaya operasional pendistribusian obat. Kecilnya volume yang didistribusikan oleh satu PBF, bukan saja tidak efisien, juga tidak ekonomis, sehingga tidak dapat bersaing secara baik. Dampaknya, obat-obat yang telah diproduksi mengikuti CPOB (cara pembuatan obat yang baik) tidak dapat disimpan dan didistribusikan dengan baik. Begitu juga kualitas obatnya pun tidak lagi terjamin oleh distributor, karena PBF tersebut tidak sanggup melaksanakan GDP (good distribution practice).

            Berdasarkan regulasi pemerintah, setiap pabrik obat dalam mendistribusikan produk obatnya harus menggunakan jalur PBF. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 2.250 distributor. Sedang jumlah retailer-nya: sekitar 5.695 apotek dan 5.513 toko obat – besar dan kecil.

            Peningkatan jumlah PBF yang sangat dramatis, selain karena rata-rata pabrik obat mendirikan PBF sendiri, juga lebih dikarenakan regulasi pemerintah yang memungkinkan perusahaan-perusahaan yang tidak berbasis industri farmasi untuk mendirikan PBF. Jadi, meski jumlah pabrik obat tidak bertambah, sebaliknya malah berkurang, namun jumlah PBF terus meningkat.

            Perusahaan-perusahaan distributor dari negara- negara maju, yang memang telah terdukung oleh aplikasi TI, mereka dapat lebih efisien. Selain itu, skala ekonomisnya sangat baik terpenuhi, karena volumenya sangat besar, sehingga meski mendapatkan margin penjualan yang tipis, yakni antara 3-4% dari penjualan, hal itu masih sangat menguntungkan. Di Indonesia rata-rata besar marginnya masih antara 11-12% dan tergantung pada beberapa faktor lainnya, sehingga dalam konteks ini kemampuan distributor nasional untuk bersaing semakin kecil alias tak mampu bersaing dengan baik. Pada tahun 2003, pasar produk-produk farmasi diperkirakan tumbuh sekitar 20%, namun daya beli masyarakat sudah sangat menurun. Produk obat-obatan yang selama ini diproduksi oleh 196 pabrik obat, 4 di antaranya merupakan 4 BUMN, 31 perusahaan PMA, dan sisanya adalah PMDN.

Good Distribution Practice (GDP) masih menjadi hal yang baru di Indonesia untuk diterapkan dalam aktivitas logistik sehari-hari. Standar penanganan logistik tertinggi ini masih belum banyak dipahami oleh pegiat dan pekerja di logistik. Secara khusus GDP diterapkan dalam industri farmasi/obat-obatan dengan nama lokal yaitu CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik) dan dikontrol secara langsung oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Namun ternyata tidak ada yang salah saat prinsip-prinsip GDP ini diterapkan di semua jenis industri selain industri farmasi.

            Good Distribution Practice (GDP) adalah bagian dari fungsi pemastian kualitas (quality assurance), untuk memastikan produk, agar secara konsisten disimpan, dikirim, dan ditangani sesuai kondisi yang dipersyaratkan oleh spesifikasi produk. GDP sangat penting artinya, sebab untuk menunjang standar Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang ditujukan untuk menjamin kualitas setiap produk obat yang dihasilkan oleh industri farmasi. Sehingga, diperlukan pula sistem distribusi yang handal yang sesuai dengan persyaratan GDP dan atau CDOB, agar stabilitas dan efektifitas obat tetap terjamin hingga sampai kepada pasien.

            GDP diperlukan untuk memastikan, agar pasien mendapatkan obat dengan kualitas dan khasiat yang sama, seperti saat lolos uji dari Quality Assurance di pabrik (sesuai GMP-Good Manufacturing Practices). GDP juga untuk memastikan tidak adanya "mix up, contamination & cross contamination" obat sepanjang jalur distribusi.

            Good Distribution Practice atau GDP adalah sistem jaminan kualitas yang berhubungan dengan persyaratan :

– pengadaan,

– penerimaan,

– penyimpanan dan

– pengiriman obat-obatan


            Dengan menerapkan GDP dalam logistik yang dijalankan, maka akan diperoleh komitmen yang jelas terhadap tujuan pencapaian kepuasan pelanggan yang diakomodasikan pada pelayanan penanganan barang dengan sempurna dan pengiriman yang terjamin serta adanya pengembangan-pengembangan yang berkelanjutan terhadap sistem operasional logistik yang dijalankan.
            Komponen GDP terdiri dari 20 klausul yang dikontrol secara langsung oleh WHO dan edisi terakhir yang dipublikasikan adalah edisi tahun 2006. 17 diantaranya yang terpenting yang mencakup organisasi aktivitas logistik.

Komponen-komponen GDP :

1. Organisasi and managemen

2. Personnel 

3. Kondisi kendaraan dan peralatan

            Di Indonesia untuk pendistribusian obat yang baik telah diatur pada peraturan BPOM RI Nomor HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang pedoman teknis cara distribusi obat yang baik.

Undang-undang RI No.35 tahun 2009 tentang narkotika mengatur bahwa distribusi obat meliputi hal-hal sebagai berikut :

(Pasal 35)

1.      Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindah tanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

(Pasal 36)


2.       Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri

(Pasal 37)

3.      Narkotika Golongan II (seperti petidin) dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.

(Pasal 38)

4.      Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.

(Pasal 39)

5.      Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri

(Pasal 40)

6.      Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:

a. pedagang besar farmasi tertentu;

b. apotek;

c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah

tertentu; dan

d. rumah sakit.

Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:

a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;

b. apotek;

c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah

tertentu;

d. rumah sakit; dan

e. lembaga ilmu pengetahuan;

Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:

a. rumah sakit pemerintah;

b. pusat kesehatan masyarakat; dan

c. balai pengobatan pemerintah tertentu.

(Pasal 43)

       7.  Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:

a. apotek;

b. rumah sakit;

c. pusat kesehatan masyarakat;

d. balai pengobatan; dan

e. dokter.

Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:

a. rumah sakit;

b. pusat kesehatan masyarakat;

c. apotek lainnya;

d. balai pengobatan;

e. dokter; dan

f. pasien.

Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter dan Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:

a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;

b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau

c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter hanya dapat diperoleh di apotek.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Uji Sifat Fisik Senyawa Hidrokarbon

Ektraksi